Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan DPR Menentang, "Tapi tak Berdaya"
BINTANGNEWS.com –
Setelah menggelar rapat dengan pemerintah dan BPJS Kesehatan hingga Jumat
(08/11) dini hari, DPR menolak kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
bagi peserta kelas 3 yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun
2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Pakar hukum tata negara, Margarito
Kamis, mengatakan bahwa yang bisa membatalkan perpres yaitu presiden sendiri
atau keputusan Mahkamah Agung (MA).
"(Jika) presiden memiliki
kesadaran bahwa ini (perpres), katakanlah, memberatkan masyarakat - atau apapun
pertimbangan beliau - lalu beliau cabut, maka pencabutan itu hanya bisa
dilakukan dengan menerbitkan perpres baru, perpres tentang pencabutan perpres
kenaikan iuran BPJS," tutur Margarito kepada BBC News Indonesia (08/11).
"Yang kedua, siapa yang tidak
menyetujui (perpres itu) silakan membawanya ke Mahkamah Agung, judicial review
ke MA. Tidak ada cara lain selain dua itu."
Sejauh ini, Peraturan Presiden
(Perpres) 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tersebut telah digugat ke MA oleh
seorang peserta BPJS Kesehatan asal Surabaya bernama Kusnan Hadi melalui
Pengadilan Negeri Surabaya.
Sementara di Senayan, selain menolak
kenaikan iuran, anggota dewan juga meminta pemerintah mencari alternatif lain
untuk menutup defisit BPJS Kesehatan yang menjadi salah satu dasar kenaikan
jumlah iuran.
Suara
DPR
Tentangan keras terhadap kenaikan
iuran JKN disuarakan politisi PDI-Perjuangan yang duduk di Komisi IX DPR RI,
Ribka Tjiptaning.
"Kalau aku pribadi tidak
setuju," ujar Ribka melalui sambungan telepon, Jumat (08/11).
Ia menilai, isi perpres tersebut tidak
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat pemerintah dengan DPR saat menggelar
rapat gabungan pada 2 September 2019.
"(Peserta JKN) kelas 3 ikut naik,
(padahal) sudah ada rapat gabungan sebelum periode ini, kan aku juga di Komisi
IX. Itu menyatakan bahwa yang kelas 3 nggak ikut naik. Tapi kan
dilanggar," ungkapnya.
Dalam perpres itu, kenaikan iuran JKN
sebesar kurang lebih 100% diberlakukan kepada seluruh peserta mandiri BPJS
Kesehatan, baik kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) maupun Bukan
Pekerja (BP).
Kenaikan tersebut yaitu Kelas 1 dari
Rp80.000 menjadi Rp160.000, Kelas 2 dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan Kelas
3 dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.
Ribka menuturkan, peserta mandiri
kelas 3 terdiri atas masyarakat menengah ke bawah yang patut menerima
perlindungan pemerintah.
"Harusnya pemerintah berani, semua
tempat tidur kelas 3, baik (rumah sakit) swasta maupun negeri dibeli dulu sama
negara. Mau isi (dipakai), mau kosong, (yang penting) dibayar dulu," ujar
Ribka.
Sementara politikus Golkar yang
sama-sama duduk di komisi DPR yang mengurusi masalah kesehatan, Dewi Asmara,
menganggap kenaikan iuran JKN sebagai hal yang niscaya dan menjadi wewenang
pemerintah.
"Kenaikan itu memang kalau secara
undang-undang itu kan seharusnya dua tahun sekali, dan ini belum dilakukan
selama empat tahun," ujar Dewi kepada BBC News Indonesia, Jumat (08/11).
Meski demikian, seperti Ribka, Dewi
pun menyayangkan kebijakan dalam perpres yang tidak sesuai dengan kesimpulan
rapat antara DPR dan pemerintah sebelumnya.
"Jadi bukan masalah setuju atau
tidak setuju terhadap perpres, bukan itu, tetapi bagaimana kita konsisten
kepada keputusan rapat terdahulu yang juga sudah terkomunikasikan dan understanding
bersama pemerintah," katanya.
Iuran BPJS Kesehatan naik 100%: Tidak
akan 'tutup' defisit dan tunggakan peserta Mandiri 'membengkak'
BPJS Kesehatan terus defisit, bakal
terapkan konsep berbagi biaya atau tarik pajak rokok?
Dikritik, uang pajak rokok untuk atasi
defisit anggaran BPJS Kesehatan
Dewi pun meminta pemerintah melakukan
terobosan baru untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.
"Mungkin dengan kenaikan cukai
rokok," ungkitnya.
"Itu bisa dipikirkan untuk
dipergunakan, jadi tidak dibebankan kepada rakyat. Mengapa? Karena 20% dari
tagihan terbesar yang ada di BPJS dan defisit itu adalah (berasal dari)
penyakit katastropik yang antara lain bisa ditimbulkan oleh rokok juga,"
pungkas Dewi.
Rencana
subsidi bagi peserta mandiri Kelas 3
Tekanan Komisi IX DPR yang menuntut
pemerintah untuk merevisi Perpres 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran
JKN bagi peserta mandiri Kelas 3 itu dianggap pakar hukum tata negara,
Margarito Kamis, belum tentu bisa memengaruhi presiden untuk membatalkan
kebijakannya.
"Betapa hebat pun DPR itu menekan
presiden, kalau presiden tidak mau juga tidak bisa disalahkan," ujarnya
dikutif BBC Indonesia.
Meski demikian, tekanan DPR ditanggapi
positif Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang baru menjabat posisi
tersebut kurang dari sebulan.
"Kami usulkan anggaran untuk
mensubsidi peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Bukan Pekerja Kelas
3," tutur Terawan dalam rapat bersama Komisi IX, Rabu (06/11).
Ia mengatakan bahwa "sesuai
arahan mensesneg (menteri sekretaris negara)" pihaknya akan berkoordinasi
dengan Menko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Menteri Keuangan dan
Menteri Sosial untuk membahas usulan tersebut.
Terawan mengusulkan subsidi sebesar
Rp3,9 triliun bagi 19.914.743 peserta mandiri Kelas 3. Mereka akan tetap
membayar dengan jumlah iuran lama sebesar Rp25.500, sementara selisihnya dengan
iuran yang baru (Rp42 ribu), yaitu Rp16.500, rencananya akan disubsidi
pemerintah.
Angka itu diperoleh dari jumlah
peserta mandiri Kelas 3 sebanyak 19.914.743 dikali selisih iuran JKN Kelas 3
sebesar Rp25.500 dengan iuran yang akan berlaku mulai Januari 2020 sebesar
Rp42.000, yaitu Rp16.500.
"Kami akan membawa amanah ini,
kami akan perjuangkan, mudah-mudahan subsidi itu bisa dilakukan. Saya akan
berjuang," ujarnya.***
.(bin)