Politik Identitas tak Laku di Pemilu 2019
BINTANGNEWS.com –
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes
mengatakan politik identitas bakal tidak laku di Pemilu 2019. Menurut Arya,
baik di pileg maupun Pilpres nanti, politik identitas tidak akan berpengaruh
banyak untuk mendongkrak elektabilitas caleg atau pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Di Pileg 2019, kata Arya, politik
identitas tidak terlalu banyak digunakan karena beberapa faktor, antara lain
komposisi caleg yang beragam, tingkat kontestasi yang ketat baik di internal
maupun eksternal partai, dan fragmentasi politik di tingkat lokal.
"Selain itu, migrasi suara
pemilih saat pileg juga tidak terlalu ekstrem, misalnya dari partai agama
menjadi partai nasional," ungkap dia.
Sementara untuk Pilpres 2019, lanjut
Arya, isu kontestasi antara kandidat sepertinya mulai bergeser menjadi isu
ekonomi. Menurut Arya, isu ekonomi seperti harga sembako, kemiskinan dan
lapangan kerja menjadi perhatian utama pemilih di Pilpres 2019.
"Isu Pilpres 2019 sudah bergeser
ke isu ekonomi, politik identitas tidak laku lagi. Pemilih cenderung memilih
pemimpin yang dianggap jujur atau anti-korupsi, sederhana dan mampu membawa
perubahan dibandingkan pemimpin yang taat beragama," ungkap dia.
Arya menilai jika isu politik
identitas efektif dan benar-benar bekerja, seharusnya berpengaruh signifikan
terhadap perolehan suara calon presiden. Menurut dia, seharusnya dalam tiga
tahun terakhir, ada calon mendapat kenaikan suara yang signifikan dan ada calon
yang suaranya turun drastis.
"Tetapi nyatanya kan tidak. Dalam
tiga tahun terakhir suara Jokowi relatif mengalami kenaikan namun sangat
landai. Sementara suara Prabowo Subianto mengalami stagnasi. Sejak tahun 2015
hingga 2017, suara Jokowi berada pasa kisaran 35-50 persen dan suara Prabowo
25-30 persen," terang dia kepada beritasatu.com.
Dalam survei CSIS, memang terlihat
perolehan suara Jokowi dari 36,1 persen di tahun 2015, 41,9 persen di tahun
2016 menjadi 50,9 persen di tahun 2017. Sementara perolehan suara Prabowo di
tahun 2015 berada di angka 28 persen, turun di tahun 2016 pada angka 24,3
persen dan kembali naik pada tahun 2017 di angka 25,8 persen.
Fakta lain yang menunjukkan jika
politik identitas tidak efektif di Pemilu 2019 adalah preferensi pilihan massa
aksi 212 yang justru terdistribusi ke banyak partai dan kedua capres. Suara
dari massa aksi 212, kata dia, sebanyak sekitar 6 persen dari 5 provinsi, yakni
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
"Dukungan massa aksi 212 kepada
Jokowi berada di Provinsi Jatim, Jateng dan Sulsel. Sementara dukungan massa
aksi 212 yang preferensi politiknya ke Prabowo dari Jabar dan Sumut,"
pungkas di.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com