BINTANGNEWS.com –
Menjadi mualaf di negara mayoritas non-Muslim, dibutuhkan perjuangan dan
kesabaran ekstra untuk menghadapi setiap tantangan. Bila tak kuat, bukan tak
mungkin, Islam hanya akan menjadi olok-olokan dan cemoohan banyak orang. Namun,
bila berhasil menaklukkan tantangan itu, cahaya Islam akan senantiasa menyinari
setiap sanubari manusia.
Saat itu, usianya baru menginjak 16
tahun. Oleh kedua orang tuanya yang asli Inggris, ia dimasukkan ke sekolah
berasrama (boarding school) tradisional Inggris. Sebelumnya, Lucy selalu
menempuh pendidikan di sekolah khusus perempuan yang siswanya beragama Kristen.
Di sekolah baru ini siswanya campur, laki-laki dan perempuan.
Saat mengenyam pendidikan di sekolah
barunya inilah, Lucy berkenalan dengan Julian, seorang pemuda Muslim berdarah
campuran Inggris-Iran. Secara fisik, sosok Julian tak ada bedanya dengan pemuda
Inggris lainnya.
Namun, perilaku dan kebiasaan Julian,
membuat Lucy tertarik. Julian tidak pernah minum minuman yang mengandung
alkohol. Bahkan, segelas anggur pun tak akan disentuhnya. Kebiasaan ini tentu
saja berbeda dan terlihat aneh dengan kebiasaan remaja Inggris, yang senantiasa
menghabiskan akhir pekan dengan minuman keras dan mabuk-mabukan.
Perilaku Julian yang dianggapnya
'tidak wajar' ini membuat Lucy ingin mengetahui lebih jauh tentang sikapnya.
Maka itu, pertemanannya dengan Julian, ia manfaatkan untuk bertanya tentang
sikapnya dan Islam. Dari penjelasan-penjelasan yang diberikan Julian, membuat
Lucy makin tertarik dengan ajaran yang dianut Julian.
Perlahan-lahan, Lucy mempelajari Islam
dari berbagai buku dan orang Muslim di Inggris. Di waktu luang, Lucy mulai
berani berkunjung ke sebuah masjid dekat Regent's Park, London.
Penjaga masjid mengajaknya berkeliling
masjid. Di akhir kunjungan, dia diberi buku berjudul What Everyone Should Know
about Islam and Muslims. Buku tersebut, menurut Lucy, bisa menjawab beberapa
pertanyaan yang selama ini berkecamuk di hatinya.
''Sebelum meninggalkan masjid, sekilas
aku melihat tempat berdoa di dalam masjid. Tidak ada furniturnya, hanya ada
karpet dari tembok ke tembok dan beberapa orang tampak sedang membaca doa dalam
hati. Kulihat mereka tenang dan penuh pengharapan memanjatkan doa,'' papar Lucy
mengenang pengalaman pertamanya mengunjungi masjid.
Ketertarikannya untuk mengenal tentang
Islam lebih jauh semakin kuat, manakala ia dan seorang temannya mendapat
undangan makan malam dari sebuah keluarga Muslim berkebangsaan Israel. Saat
itu, Lucy tengah mengikuti program kerja remaja Inggris pada sebuah komunitas
Yahudi (kibbutz) di bagian utara Galilee di Israel.
Keluarga Muslim yang mengundangnya
makan malam, jelas Lucy, adalah sebuah keluarga sederhana bahkan bisa dibilang
memiliki kehidupan yang tergolong miskin.
''Mereka hanya punya dua ekor ayam di
pekarangan mereka. Dan, mereka memotong satu ayam itu untuk kami. Kami
menyantap hidangan yang sangat lezat dan tidak memberi mereka apa pun,''
ujarnya.
Sekembalinya ke Inggris, ketertarikan
Lucy terhadap Islam semakin kuat. Untuk menambah keyakinannya tentang Islam,
Lucy memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan mahasiswa Muslim di
lingkungan kampusnya, Universitas Cambridge. Padahal saat itu, ia belum memeluk
Islam.
Lucy pun semakin giat mempelajari
Islam dari berbagai buku bacaan, yang banyak mengulas ajaran Islam dan
komunitas Muslim. Salah satu buku yang dibacanya adalah Islam: Beliefs and
Teachings karya Sarwar G.
''Ibadah Muslim mulai sedikit masuk
akal bagiku begitu aku tahu artinya dalam bahasa Inggris. Ikrar keimanan harus
diucapkan berulang kali, setiap shalat lima waktu. Berpuasa satu bulan dalam
setahun. Menyumbangkan hartanya sekali setiap tahun, dan mengunjungi Makkah
sekali seumur hidup. Muslim boleh beribadah lebih dari semua itu, tetapi tak
boleh mengurangi kewajiban pokok itu,'' papar Lucy mengenang perkenalannya
dengan ajaran Islam.
Puncak di cinta ulam pun tiba. Bila
hati sudah semakin mantap, apa pun tak akan mungkin melepaskannya. Begitulah
kata pepatah. Ungkapan ini layak disematkan pada Lucy.
Suatu malam di bulan November 1991,
Lucy tak bisa tidur nyenyak. Dia merasa gelisah. Kegelisahannya karena
memikirkan tentang Tuhan. Berkali-kali ia membolak-balikkan badan dan berusaha
memejamkan mata, tetap saja ia tak bisa tidur. Seakan-akan ada yang
mengawasinya.
''Aku terjaga semalaman dengan pikiran
berkecamuk tak henti-hentinya dalam kepalaku. Aku percaya pada Tuhan. Tuhan
yang Serbatahu dan Mahakuat. Jika Tuhan Mahakuat, Dia pasti ada di mana-mana,
dan itu berarti Tuhan juga bersamaku, saat ini. Jadi, Tuhan bisa melihatku dan
Tuhan bisa melihat pikiran terdalamku. Itu benar-benar kabar buruk,'' ujarnya
menceritakan pengalaman yang terjadi di awal semester tahun keduanya di
Cambridge.
Kegelisahannya itu membawanya untuk
semakin dalam mempelajari Islam. Dan akhirnya, saat kemantapan hati itu semakin
kuat, Lucy pun berikrar untuk menjadi seorang Muslim. Walau belum resmi, ia
pelan-pelan mempelajari shalat.
Setelah benar-benar yakin, ia pun
mengumumkan jati diri keislamannya seminggu kemudian. Bertempat di kamar asrama
dan disaksikan sejumlah rekan-rekan sekampus, Lucy mengucapkan dua kalimat
syahadat. ''Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
rasul Allah.''
Kabar keislamannya pun segera menyebar
ke segenap kampus. Teman-temannya yang non-Muslim pun semakin banyak yang
mengetahuinya. Maka, saat itu, Lucy resmi menyandang status Muslimah.
Orang tuanya baru mengetahui kabar
keislamannya, ketika Lucy menyampaikan kepada mereka di saat liburan semester.
Beruntung Lucy memiliki keluarga yang egaliter dan demokratis. Sang kakak, Julie,
memberinya dukungan dan bersikap positif dengan keputusan Lucy menjadi Muslim.
Sementara itu, ayahnya berpikir bahwa
apa yang terjadi pada Lucy hanyalah sebuah fase dalam kehidupan putrinya. Hanya
sang ibu yang sempat kaget mengetahui anaknya memilih menjadi Muslimah.
''Bagaimana mungkin anaknya menjadi Muslimah?'' Mungkin begitulah bayangan yang
ada dalam pikiran ibunya saat itu.
Lucy nyaris bimbang. Di satu sisi, ia
tidak ingin menyakiti dan menghancurkan hati ibunya. Apalagi, di Alquran dalam
surah Al-Ahqaf ayat 15 disebutkan bahwa manusia hendaknya senantiasa berbuat
baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya selama sembilan bulan, dan
melahirkannya dengan susah payah.
Namun, apa hendak dikata, Lucy tetap
mantap memilih Islam sebagai agama barunya. Dan, ia tetap menjalin hubungan
baik dengan kedua orang tuanya, termasuk ibu yang sangat dicintainya.
Baginya, ibu adalah orang yang wajib
dikasihi. Namun, ia juga sudah jatuh cinta dengan Islam. Dan, Islam mengajarkan
untuk senantiasa mengajarkan pemeluknya menghormati kedua orang tua, kendati
mereka berbeda agama.
Sebagai mualaf, Lucy sangat serius
menekuni ajaran Islam. Dia belajar shalat, mengenakan kerudung (jilbab), dan
meninggalkan semua hal yang tidak diperbolehkan (dilarang) dalam ajaran Islam.
Seperti, tidak mengonsumsi daging babi, minuman beralkohol, dan menghindarkan
diri berduaan dengan yang bukan muhrimnya.
Kebiasaan yang tak umum ini, awalnya
sangat sulit ia lakukan.
Pasalnya, hal itu sudah merupakan
kebiasaan sehari-hari. Bahkan, menurut adat istiadat dan budaya Barat,
kebiasaan mengonsumsi minuman keras dan makan daging babi adalah sesuatu yang
biasa saja. Lucy pun harus berhadapan dengan kebiasaan yang tak lazim ini di
tengah kehidupannya sehari-hari.
Seperti, ketika ia memutuskan untuk
menikah dengan Julian, di usianya yang masih terbilang muda, 19 tahun.
Sebagaimana layaknya setiap pesta dalam kultur Barat yang wajib ada alkohol,
tapi kini harus dihindari. Begitu juga, dengan makanan yang tersedia hanya yang
terbuat dari bahan-bahan yang halal.
Benturan juga terjadi manakala Lucy
harus memilih busana pengantin. Model yag ditawarkan selalu dengan bagian dada
dan punggung terbuka. Sementara itu, ia menginginkan sebuah busana pengantin
yang serba tertutup dan dilengkapi dengan kerudung. Hal ini sempat menimbulkan
pertentangan antara Lucy dan sang ibu. Namun, Lucy sudah mantap untuk
meyakinkan ibunya bahwa baginya hal itu adalah yang terbaik dan sesuai dengan
ajaran Islam, yang telah menjadi keyakinannya.
Berbagai benturan lainnya, banyak
ditemui Lucy takkala ia memasuki dunia kerja selepas menamatkan pendidikan di
Cambridge. Setelah lulus kuliah, Lucy diterima bekerja di sebuah perusahaan
consumer goods multinasional sebagai analis keuangan.
Sebagai penganut agama minoritas di
Inggris, kantornya tak menyediakan tempat shalat. Lucy lalu menyiasatinya dengan
menumpang di ruang kesehatan untuk melakukan shalat. Saat ada pasien, sebagai
gantinya ia kerap menggunakan ruangan bosnya untuk tempat shalat.
Demikian juga, ketika jam makan siang
tiba. Menu nonhalal yang banyak disediakan oleh pihak pengelola kantin kantor,
membuatnya harus memesan makanan terpisah, tanpa babi. Belum lagi, berbagai
pertanyaan aneh dari para rekan kerjanya yang bingung melihat Lucy berkerudung,”
demikian Republika.co.id.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com