Benarkah Pemilu 2019: Pileg Dibayangi Pilpres, 'Kami Tenggelam'
BINTANGNEWS.com –
Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia menghadapi pemilihan anggota legislatif
dan pemilihan presiden pada saat bersamaan demi efisiensi dan efektivitas.
Namun, beberapa pengamat dan sejumlah calon anggota legislatif mengatakan
sebaliknya.
Meski demikian, atas dorongan
teman-teman sekolahnya dulu, Faisal tengah mempertimbangkan memilih mantan adik
kelasnya yang menjadi caleg PKS di Jakarta Pusat.
"Saya kenal dia, tahu track
record dia. Waktu zaman sekolah dulu saya tahu dia seperti apa dan sekarang
seperti apa. Sebab, mestinya, memilih caleg kita kenal sosoknya," kata
Faisal.
Faisal mengaku sejatinya dia dan
keluarganya merupakan pemilih loyal Partai Persatuan Pembangunan sejak era Orde
Baru.
Ketika ditanya mengapa tidak
mempertimbangkan untuk memilih caleg dari PPP, Faisal menggeleng.
"Kalau ketua umumnya nggak kena
masalah sih, banyak caleg PPP yang saya kenal sosoknya. Tapi ketua umumnya aja
kena kasus begitu, yang bawahnya mestinya kena lah," tuduh Faisal, merujuk
kasus dugaan suap jabatan yang merujuk Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.
Pengakuan Faisal sejalan dengan temuan
hasil survei Charta Politika pada 18-25 Januari 2019, dengan jumlah responden
800 orang di tiap daerah pemilihan dan margin of error 3,40%, yang menemukan
30% pemilih belum menentukan pilihan calon legislatif yang akan mereka pilih.
Menurut Yunarto Wijaya, direktur
eksekutif Charta Politika, hal ini merupakan konsekuensi dari pemilu serentak.
"Pemilih fokus di pilpres serta
terlalu banyak partai dan caleg. Di sisi lain parlemen dianggap tidak
menjalankan fungsinya. Belum lagi image negatif karena korupsi. Apatisme
terhadap pileg sangat tinggi," paparnya.
Hal senada diutarakan Titi Anggraini
selaku direktur eksekutif Perludem, lembaga kajian kepemiluan dan demokrasi.
"Pemilih yang dirugikan. Ruang
publik kita didominasi oleh pilpres. Terlalu banyak aktor yang berkompetisi,
terlalu banyak posisi yang dipilih. Sehingga secara natural orang akan
mengenali figur-figur utama yang berkompetisi," ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri
telah mempublikasikan nama-nama caleg pada situs resmi mereka.
Bahkan, KPU telah mengumumkan
nama-nama caleg eks-koruptor, walau daftar nama itu tidak akan dipampang di
Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat hari pemungutan suara.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Ilham Saputra mengatakan, KPU tak ingin memasukkan nama caleg eks koruptor
dalam 'daftar hitam' di TPS.
"Kita hanya menginformasi kepada
masyarakat, ini loh calon-calon orang yang mantan napi koruptor. Selanjutnya
bagaimana? Terserah Anda, Anda mau milih atau tidak. Kalau kemudian kita
umumkan (di TPS), kita beri tanda, dan sebagainya, kesannya memang kemudian itu
malah mem-blacklist, itu yang kita tidak mau, itu bukan peran KPU," papa
Ilham pada Februari lalu kepada Kompas.com
'Kami tenggelam'
Kondisi masyarakat yang demikian
diakui sulit oleh para caleg.
Dian Islamiati Fatwa, misalnya. Caleg
DPR RI dari Partai Amanat Nasional nomor urut dua di daerah pemilihan DKI
Jakarta 2, yang mencakup wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar
Negeri ini selalu menghadapi pertanyaan soal pilpres dari konstituennya.
"Setiap saya datang mengunjungi
masyarakat, mereka mengajukan pertanyaan, seperti: 'Bu, bagaimana nanti
kebijakan pak Prabowo?', 'Waktu debat, pak Prabowo bilang begini, bu. Benar
tidak?'. Perhatian mereka hanya tertuju pada pilpres. Kita menjadi tenggelam,"
tutur putri mendiang AM Fatwa tersebut.
Hal serupa diutarakan Christina
Aryani, caleg DPR RI nomor urut satu Partai Golkar di Dapil DKI Jakarta 2.
"Segala sesuatu yang dibahas
adalah soal pilpres. Jadi kami memiliki kesulitan untuk menyuarakan," cetusnya.
Ketika caleg PAN dan Golkar menghadapi
kesulitan, tidak demikian halnya dengan caleg PDIP.
Nuraini, caleg DPR RI nomor urut enam
di Dapil DKI Jakarta 2 mengaku justru diuntungkan dengan pilpres.
"Ketika ada program-program dari
pak Jokowi, membantu sekali. Faktanya itu menguntungkan. Saya pribadi relatif
tidak menemui kesulitan secara umum. Tetapi memang saya bukan incumbent,
artinya ada upaya lebih keras untuk menyuarakan visi misi saya," paparnya.
Situasi ini klop dengan penjelasan
Djayadi Hanan, direktur eksekutif lembaga Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC).
Menurutnya, dalam pemilihan legislatif
dan pemilihan presiden secara serentak, partai yang paling banyak meraup untung
adalah partai pengusung calon presiden atau diistilahkan coattail effect (efek
ekor jas).
"PDIP dan Gerindra akan lebih
mudah terbantu karena kedua capres merupakan kader dari kedua partai itu. Namun
partai-partai lain harus lebih masif berkampanye di dapil. Kalau tidak, mereka
akan terlindas gelombang perhatian masyarakat ke capres," kata Djayadi
yang dilansir BBC Indonesia.
Djayadi menambahkan, mesin partai dan
caleg tak punya pilihan lain mengingat ada ambang batas parlemen (parliamentary
threshold), yakni meraup minimal 4% suara pemilih.
Hasil survei Charta Politika
menunjukkan, selain PDIP dan Partai Gerindra, hanya Partai Golkar, PKB, Partai
Nasdem, Partai Demokrat, PPP dan PKS yang lolos ambang batas parlemen.
Sementara Partai Perindo dan PAN masih berada di bawah threshold meski masih
berpeluang lolos.
Sementara PSI, Partai Hanura, hingga
PKPI, masih berada di kelompok partai yang tidak lolos ambang batas.
Dengan banyak partai berguguran,
konsekuensinya, jutaan suara pemilih akan dianggap hangus dan tidak bisa
digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR RI.
"Pemilu 2014 saja, dengan ambang
batas parlemen 3,5%, suara terbuang itu besar. Apalagi pemilu 2019, angka
parliamentary threshold 4%, sangat mungkin jumlah suara yang tidak bisa
dihitung karena partainya tidak lolos akan naik," kata Titi Anggraini.
'Partai kawin paksa' akibat
presidential threshold
Upaya partai politik untuk lolos
ambang batas parlemen diprediksi tidak akan sesulit ini jika saja tidak ada
presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20%.
Akibat aturan yang diputuskan dalam
rapat paripurna DPR pada Juli 2017 lalu, partai politik hanya dapat mengajukan
calon presiden dan wakilnya jika memperoleh 20% kursi di DPR berdasarkan hasil
pemilihan umum 2014.
"Jika setiap partai diperbolehkan
mengusung kadernya terbaiknya menjadi capres, mereka akan bekerja maksimal
memenangkan partai sekaligus mempromosikan capres yang mereka usung karena ada
ikatan ideologis.
"Berbeda dengan posisi sekarang,
partai politik kawin paksa sejak awal karena ada ambang batas 20% kursi di DPR
berdasarkan hasil pemilu 2014. Akhirnya ketika partai dipaksa berkoalisi,
mereka diperhadapkan dengan dilema karena harus berkampanye memenangkan partai
tapi di satu sisi capres yang dia harus menangkan tidak punya hubungan
ideologis dengan partainya," terang Titi.
Pragmatisme partai ini ternyata
berdampak langsung terhadap pemilih loyal, semisal PPP.
Sebagaimana ditunjukkan hasil survei
Litbang Kompas pada akhir Februari hingga awal Maret 2019, sebanyak 66,7% pemilih
loyal PPP yang bakal memilih Jokowi. Adapun 27,8% pemilih loyal PPP condong
memilih capres Prabowo Subianto.
Hasil survei itu selaras dengan sikap
Faisal, pemilih loyal PPP di Jakarta Pusat. Dia tidak tertarik memilih caleg
PPP dan capres Joko Widodo sesuai arahan partai tersebut, tapi justru sedang
mempertimbangkan untuk mengalihkan suaranya ke caleg PKS dan capres Prabowo
Subianto.
Ketika ditanya bagaimana sikapnya jika
seandainya PPP mengajukan capres dari kader internal, Faisal langsung
merespons.
"Pasti kita dukung penuh,
siapapun asal dari internal partai," cetusnya.
Djayadi Hanan, direktur eksekutif lembaga
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), menyebut situasi ini sebagai efek
negatif ekor jas.
"Misalnya, ada pemilih setia
Demokrat tapi dia proJokowi, sedangkan Demokrat ke Prabowo. Karena dia terus
ingat Jokowi dan Jokowi terasosiasi ke PDIP, dia memilih Jokowi dan PDIP. Yang
rugi siapa? Demokrat," kata Djayadi.
Dalam hasil survei Litbang Kompas,
sebanyak 66,3% pemilih loyal Demokrat berpihak ke Prabowo, sedangkan 31,5% ke
Jokowi.
Caleg bangun jarak dengan capres
Lantaran partai politik tidak
serta-merta mengusung capres yang sehaluan, bagaimana sikap caleg partai?
Titi Anggraini menyaksikan timbul pragmatisme
di sejumlah daerah, semisal di Sumatera Barat.
"Di Sumatera Barat, ada caleg
yang partainya mengusung capres Jokowi, tapi dia membangun jarak dengan capres
tersebut," ujar Titi.
Sebagaimana diberitakan Republika,
sejumlah caleg dari partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres nomor urut
01 tidak memampangkan foto Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin pada iklan-iklan spanduk
mereka.
Caleg dari partai-partai tersebut
tidak segamblang caleg dari partai-partai pendukung pasangan capres dan
cawapres nomor urut 02 yang memasang foto Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketua Forum Komunikasi Relawan
Pemenangan Jokowi (FKRPJ) Sumbar, Mayjen TNI (Purn) Hartind Asrin, mengatakan
bahwa para caleg melakukan hal tersebut karena takut kehilangan banyak suara di
daerah pemilihannya.
"Saya tanya, kok nggak pasang
foto Jokowi? Katanya takut suara hilang," kata Hartind kepada Republika,
Maret lalu.
Pada Pilpres 2014 lalu, pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menang di Sumbar, mengalahkan Joko Widodo- Jusuf
Kalla.
Potensi Kecurangan
Sementara itu, Veri Junaini dari Kode
Inisiatif mewanti-wanti soal potensi kecurangan yang timbul akibat euforia pada
pemilihan presiden, alih-alih pemilihan legislatif.
"Kan orang antusiasnya dengan
pemilihan presiden, setelah itu legislatif mereka tidak perhatikan lagi. Penghitungannya
bisa sampai tengah malam, semua orang sudah capai. Dampaknya adalah potensi
manipulasi terhadap hasil pemilu legislatif, baik dari tingkat DPRD
kabupaten/kota sampai provinsi, itu sangat tinggi," kata Veri.
Menurutnya, kerawanan manipulasi timbul
ketika penghitungan suara saat rekapitulasi di TPS hingga pergerakan kotak
suara ke kecamatan.
"Rekapitulasi suara bisa sampai
tengah malam, bahkan lebih dengan jumlah partai dan caleg yang begitu besar.
Karena itu orang bisa dengan kelelahan dan lengah. Karena itu saksi partai
maupun pengawas TPS harus diperkuat. Netralitas dan integritas penyelenggara
pemilu juga harus mendapat perhatian," tandasnya.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com