Kembali Baku Tembak Polisi dan OPM di Papua Telan Korban Jiwa
BINTANGNEWS.com –
Usulan dialog untuk menyelesaikan konflik di Papua kembali disuarakan setelah
baku tembak antara pasukan TNI-polisi dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
kembali mengakibatkan jatuhnya korban tewas.
Usulan untuk mengedepankan dialog
telah disuarakan Staf Khusus Presiden Kelompok Kerja Papua, Lenis Kogoya.
"Sudah laporkan saya, cuma Pak
Presiden belum kasih petunjuk," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu
(20/03).
Usulan ini sudah berulangkali ditolak
pemerintah Indonesia terutama setelah peristiwa penembakan oleh OPM di
Kabupaten Nduga juga terjadi di penghujung 2018 lalu, yang menewaskan 17
karyawan PT Istaka Karya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua.
Menurut polisi, baku tembak pasukan
polisi dengan OPM yang menewaskan satu anggota polisi berawal saat sejumlah
polisi mengamankan pesawat helikopter di bandara tersebut, Rabu pagi.
Polisi yang tewas tertembak adalah
Brada Aldi, adapun dua anggota polisi lainnya, yaitu Prada Rafi dan Ipda Arif
Rahman terluka dan masih dirawat di rumah sakit setempat.
Kepala sub bidang penerangan
masyarakat Polda Papua, AKBP Suryadi Diaz, belum bisa memastikan adanya korban
jiwa dari pihak kelompok OPM yang disebutnya sebagai kelompok kriminal sipil
bersenjata (KKSB) ini.
"Setelah mereka melakukan
penembakan, lalu melarikan diri. Sekarang korban sedang dirawat di Rumah Sakit
Mimika," kata Suryadi Diaz kepada Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC
News Indonesia.
Polisi menduga motif penembakan OPM
terkait dengan pemilu. "Mereka akan ganggu dan akan menggagalkan, termasuk
akan menggagalkan pemerintah," katanya.
Lebih lanjut sumber BBC Indonesia menyampaikan, Suryadi
mengatakan sejak dua pekan lalu, sebanyak 400 anggota TNI dan kepolisian
tambahan didatangkan ke Papua.
"Jadi ini untuk antisipasi pemilu
nanti. Kalau pasukan itu fokus ke Nduga, tapi masih ada yang stay di
Timika," katanya.
OPM:
'Jangan kita dua-dua perang terus'
Sementara itu, Juru bicara Organisasi
Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom mengakui pihaknya bertanggung jawab atas
penembakan tersebut.
"Jadi Panglima Kodam Brigadir
Jenderal Ekianuas Kogoya yang bertanggung jawab di wilayah itu, dan markas
pusat kami menyatakan bertanggung jawab karena semua perang TPNPB dikontrol
oleh Mabes pusat," katanya Rabu (20/03).
Sebby menambahkan pasukan OPM siap
perang dengan pasukan tambahan TNI dan Polisi di Kabupaten Nduga.
"Kami siap jemput mereka. Sambut
mereka. Kedatangan tamu, begitu. Nah, artinya siap perang, begitu. Lawan,"
katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, untuk
menyudahi kontak senjata, TPNPB-OPM menginginkan perundingan dengan pemerintah
Indonesia di bawah mediasi PBB.
"Jangan kita dua-dua perang
terus. Korban. Kita harus duduk di meja perundingan. Tapi kami tidak punya
urusan dengan TNI-Polri.
"Ingat, kami punya urusan itu
dengan pemerintah Indonesia, yaitu presiden dan kabinetnya," tambah Sebby.
Bukan kontak senjata pertama
Kontak senjata yang menewaskan satu
anggota polisi di Kabupaten Nduga, Papua, bukan pertama kali terjadi.
Sebelumnya, baku tembak antara
kelompok bersenjata dengan TNI terjadi di Distrik Mugi Kamis (07/03) lalu, yang
menewaskan tiga anggota TNI dan sejumlah anggota kelompok bersenjata, menurut
pejabat TNI.
Peristiwa penembakan di Kabupaten
Nduga juga terjadi di penghujung 2018 lalu.
Sebanyak 17 karyawan PT Istaka Karya
dibunuh dan 2 karyawan diculik kelompok bersenjata di Distrik Yigi, Kabupaten
Nduga, Papua.
Mereka merupakan pekerja jembatan Jalan
Trans Papua yang berada di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga.
TNI: 'Kami sudah kuasai sejumlah
distrik'
Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih,
Kolonel Muhammad Aidi mengatakan TNI sudah menguasai sejumlah distrik yang
pernah menjadi markas kelompok bersenjata.
"Mapenduma, kemudian Mugi,
kemudian Yal, Dal, dan beberapa kampung yang lain," kata Aidi kepada
Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (20/03).
TNI mencatat jumlah korban tewas dari
aksi kelompok bersenjata di Kabupaten Nduga sejak Oktober 2019 hingga Maret
mencapai 35 orang. Rinciannya 30 warga sipil, 4 anggota TNI dan 1 Polisi.
"Sesuai dengan pantauan prajurit
yang melaksanakan kontak tembak, di pihak mereka juga banyak yang jatuh korban.
Ketika mereka ada yang jatuh korban, itu jenazahnya berusaha dibawa lari,"
lanjut Aidi.
Pendekatan militer 'tidak
menyelesaikan persoalan'
Pendekatan militer di Bumi
Cenderawasih tak akan menyelesaikan persoalan dan pemerintah perlu melakukan
pendekatan yang lebih manusiawi, kata Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM
(ELSHAM) Papua, Matheus Adadikam.
"Pasukan banyak datang, tapi
kenyataannya seperti ini (ada anggota TNI dan polisi yang tewas). Keamanan itu
tidak terjamin," katanya saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (20/03).
Menurut pengamatan Matheus, pemerintah
provinsi, kabupaten, dan pemerintah pusat tak pernah mendapatkan titik temu
untuk menyelesaikan persoalan Papua, khususnya di Kabupaten Nduga.
"Saya kira ini, antara provinsi,
kabupaten yang bersangkutan dan Jakarta harus duduk sama-sama. Karena selama
ini tidak ada duduk sama-sama," katanya.
Walaupun ditolak pemerintah Indonesia,
sudah ada usulan dari sejumlah pihak agar pemerintah menarik pasukan TNI dan
Polisi dari wilayah pecahan Kabupaten Jayawijaya ini.
Staf Khusus Presiden Kelompok Kerja
Papua, Lenis Kogoya mengklaim telah menyampaikan usulan ini kepada Presiden
Joko Widodo.
"Sudah laporkan saya, cuma Pak
Presiden belum kasih petunjuk," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu
(20/03).
Lebih lanjut, Lenis mengatakan usulan
yang disampaikan ke Presiden Jokowi antara lain membentuk tim khusus dari
perwakilan adat, agama dan pemerintah daerah.
"Kalau pendekatan dengan militer,
dengan kekerasan, itu tidak akan mungkin akan selesai," katanya.
Menkopolhukam Wiranto: 'Penarikan
pasukan TNI dari Nduga tak logis'
Namun, Lenis mengatakan ada pihak yang
tidak setuju dengan gagasannya, tanpa menyebutkan pihak yang dimaksud.
"Itu tidak bagus. Tanggapannya
juga dibilang tidak logis, sekarang akibatnya kan sekarang jadi korban
orang," tambahnya.
"Saya bicara seperti dibilang
orang mendukung (OPM-red) lah, mendorong dan sebagainya. Nah, itu salah
bahasanya itu. Ini kan saya bicara untuk nyawa orang," tutup Lenis.
Sebelumnya, Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebut penarikan pasukan TNI dari
Kabupaten Nduga, Papua "tak logis".
Kepada media ia mengatakan kehadiran
TNI di Papua terkait keamanan nasional.
"Karena tumpah darah berbagai
wilayah yang terganggu, ada warga negara terganggu, membutuhkan polisi hadir,
membutuhkan TNI hadir. Kita hadirkan di sana," katanya di hadapan
wartawan, pekan lalu.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com