Pilpres 2019, Apa Strategi Jokowi dan Prabowo di Dunia Maya
BINTANGNEWS.com –
Ketika calon presiden Prabowo Subianto diidentikkan oleh lawan politiknya di
dunia maya sebagai pemimpin otoriter, apa yang dilakukan tim media sosial atau
buzzer pendukungnya?
"Bisa googling, bagaimana guyonan
Prabowo bisa memukau pendukungnya," kata Anthony kepada BBC News Indonesia, Selasa (26/03).
Anthony tak menampik publik masih
mengidentifikasi Prabowo sebagai sosok otoriter, sehingga tim media sosial atau
buzzer berupaya menampilkan New Prabowo yang lembut dan humanis.
"Kita memberi edukasi ke publik
untuk lebih tahu rekam jejak calon pemimpin," lanjutnya.
Langkah yang sama juga dilakukan
ketika beredar informasi penolakan publik di sejumlah daerah terhadap calon Wakil
Presiden Sandiaga Uno.
Anthony dan timnya menampilkan
gambaran atau video di jejaring sosial yang memperlihatkan Sandy menebar senyum
dan menyalami mereka yang menolak.
Anthony mengklaim strategi tim medsos
Badan Pemenangan Nasional Prabowo Sandi lebih banyak mengusung isu eknonomi dan
tidak menggunakan isu SARA.
Tentang siapa yang dilibatkan dalam
tim buzzer kubunya, Anthony menyatakan kebanyakan melibatkan apa yang
disebutnya kalangan "akar rumput" yang diklaimnya "makin
banyak".
Bagaimana strategi tim buzzer Jokowi?
Lantas, bagaimana strategi tim buzzer
calon presiden Joko Widodo? Direktur Media Sosial Tim Kampanye Nasional Joko
Widodo-Makruf Amin, Arya Sinulingga mengaku tim media sosial - termasuk para
buzzer - masih melanjutkan "pekerjaan lama".
Pekerjaan lama itu adalah menghalau
fitnah anti-Islam, isu komunis, dan kriminalisasi ulama yang ditujukan kepada
Joko Widodo, katanya.
"Karena masih banyak yang begitu
dan masih banyak percaya, jadi kami harus menghadang itu," kata Arya
kepada Arin Swandarin untuk BBC News
Indonesia, Selasa (26/03).
Dalam berbagai kesempatan, Joko Widodo
langsung turun tangan untuk menghalau tudingan tersebut, tambahnya.
Arya menambahkan, tujuan utama TKN di
media sosial adalah menggaet pemilih. "Termasuk dengan menggunakan tagar
yang disesuaikan dengan aktivitas Jokowi," ujarnya.
Menurut Arya, upaya menangkal berbagai
fitnah itu menjadi tugas buzzer di berbagai daerah yang mencapai 50 orang di
setiap provinsi.
"Tujuannya kan menggaet pemilih,
Pak Jokowi ke mana, dia bikin program kita bikin tagar, misalnya hari ini
Jokowi mencintai Aceh, begitu cara kita menggaet pemilih, bukan
menghantam," Arya mengklaim.
Dikatakannya, apabila ada serangan
muncul atas capresnya, maka tanggapannya justru datang dari publik. "Yang
menyatakan dukungannya secara terbuka dan biasanya isunya cepat hilang,"
katanya yang dilansir BBC Indonesia.
Arya mencontohkan buzzer yang
dimainkan timnya saat debat. "Kalau di debat itu kita pasti bersatu dan
menang, karena kita tujuannya menggaet pemilih," katanya lagi.
Apa perbedaan strategi buzzer kubu
Jokowi dan Prabowo?
Pengamat media sosial, Ismail Fahmi,
menandai apa yang disebutnya sebagai perbedaan kubu Jokowi-Prabowo dalam
menggerakkan buzzer di media sosial.
Kubu Jokowi, menurut Ismail, bermain
sangat terstruktur serta memiliki banyak tim yang tersebar di kelompok relawan.
"Ada tim Cakra, ada tim Bravo,
Gojo, Projo, dan lain-lain, mereka bekerja sendiri dengan pendanaan sendiri,
goalnya mempromosikan Jokowi," katanya kepada Arin Swandari untuk BBC News
Indonesia, Selasa (26/03).
Mereka, kata Ismail, bekerja professional
dan penuh perencanaan.
"Makanya kadang-kadang isunya
sangat bagus, (Capres) 01 terstruktur, meme-nya bagus, selalu ada video,
infografisnya bagus" lanjutnya.
Sementara, kubu Prabowo, menurutnya,
memilliki tim internal BPN yang bertugas menyebarkan informasi resmi.
"Tapi di luar itu ada tim besar
banget, yang mereka bergerak berdasarkan isu sporadis yang muncul saat
itu," papar Ismail.
Ia mencontohkan isu Bukalapak yang
langsung disambut para buzzer 02 dengan sangat sigap.
"Hanya dalam hitungan menit,
tokoh mereka misalnya, Raja Purwa, influencer dan Buzzer sekaligus, itu dengan
sendirinya akan diikuti secara tak terstruktur oleh (pendukung 02) mereka
tinggal follow, retweet saja," paparnya.
'Modal tagar dan obrolan keseharian'
Menurut Ismail, para buzzer di Capres
02 sangat mudah digerakkan dan mereka menggunakan obrolan sehari-hari.
"Mereka ngobrol dengan bahasa
sehari-hari dengan ditambah tagar," lanjutnya.
Artinya antara konten yang disampaikan
dan tagar yang dipakai, kerap tidak nyambung, katanya menganalisa.
Mereka nyaris tidak punya materi hanya
mengandalkan tagar, tambahnya. Namun, cara ini disebutnya justru menjadi
kekuatan pendukung 02, sehingga mereka tampak lebih riuh di dunia maya.
"Membahas apapun tinggal ditambah
tagar itu," ujar Ismail.
'Terlalu banyak materi yang
diproduksi'
Sebaliknya pada kubu 01, terlalu
banyak materi yang diproduksi, sehingga kata Ismail, timnya kewalahan untuk
menyebarkannya dan menjadikannya viral.
Menurutnya, kondisi ini kadang diatasi
dengan menggunakan akun robot. "Setelah trending baru orang-orang
pendukung ngikut," katanya.
Tentang isu yang diangkat menurut
Ismail, berdasarkan risetnya terhadap trending dalam tiga bulan terakhir, kubu
Prabowo sudah meninggalkan isu anti-Islam, PKI, Pro-Tionghhoa, dan kriminalisasi
ulama.
Namun, perbincangan yang sama tetap
digunakan oleh kubu Jokowi, dengan tujuan untuk membantah isu tudingan
tersebut.
Kubu 02, kata dia, 'menyerang' Joko
Widodo dengan diksi "janji" dan "bohong".
Menurutnya, kedua diksi itu
mendominasi 50% perbincangan pendukung Prabowo Sandi di media sosial.
"Maknanya kan soal kinerja, Pada
saat 2014 menjanjikan sesuatu hasilnya bagaimana?" papar Ismail.
Berikutnya adalah isu tentang tenaga
kerja Cina yang terus digaungkan. Ia menduga isu yang sama akan tetap diangkat
sampai Pilpres tiba.
Sementara kubu 01 masih akan
menggunakan narasi melawan hoaks dan fitnah, katanya.
Dikatakannya, isu HAM yang menjadi
kelemahan kubu 02 bahkan kurang tersiar di publik akibat pilihan narasi melawan
hoaks yang terus dipertahankan kubu Jokowi.
Apakah perang di jagad maya berdampak
pada elektoral?
Direktur Bidang Media dan Komunikasi
Tim Prabowo, Sandy Anthony Leong, menyebut makin banyak akar rumput yang
teredukasi tentang calon pemimpin yang mereka jagokan Prabowo-Sandi di media
sosial.
"Pilpres 2019 ini masyarakat
makin dewasa," katanya.
Sementara, Direktur Media Sosial Tim
Kampanye Nasional dari calon presiden 02 Joko Widodo-Makruf Amin, Arya
Sinulingga, menyebut kampanye media sosial telah membantu kerja tim kampanye,
khususnya sebelum jadwal kampanye terbuka dalam rapat-rapat umum dan kampanye
media masa.
"Kita mengejar 60-70% di sosial
media, sebelum kampanye terbuka," lanjutnya.
TKN mengaku tim memiliki sarana untuk
mengukur tanggapan positif terhadap Jokowi.
"Kita juga mengukur kalau Jokowi
bicara program, tanggapan positif atau negatif," lanjutnya.
Namun Arya mengakui kini pengaruhnya
makin menipis karena sudah mendekati angka kestabilan.
"Awal-awal kenaikan sangat
tinggi, sekarang mendapat kenaikan 1% beratnya bukan main," lanjutnya.
Arya mencotohkan kampanye media sosial dengam #Jokowi mencintaAceh misalnya,
paling banter menaikkan 0,1 persen.
'Narasi yang dikembangkan tak mengubah
pilihan orang'
Peneliti Lembaga SMRC Saidiman Ahmad
berpendapat peran buzzer tidak terlalu besar mendulang suara.
"Buzzer paling banyak di Twitter,
penggunanya 5% dari populasi, jadi ya scope-nya hanya di 5% itu," katanya.
Media sosial lain seperti Whatsap dan
Facebook juga diyakini Saidiman tidak banyak berpengaruh.
Katanya, yang menjadi follower para
buzzer dan memperbincangkan isu serta percaya pada isu adalah para pendukung.
Artinya, narasi yang dimainkan tidak
mengubah pilihan orang. Para buzzer bergerak di ruang terbatas. "Mereka
berbicara di kalangan audiens-nya sendiri."
Saidiman mencontohkan bukti partai
yang paling riuh di twitter dan media sosial lain, seperti PSI dan PKS, tapi
berdasarkan hasil survei di lapangan suaranya rendah.
Di Pilpres, kampanye media sosial
kelompok 02 lebih riuh, namun dalam survei hasilnya kubu 01 lebih unggul.
"Ada pengaruh tapi tidak sebesar
yang dibayangkan orang," kata Saidiman Ahmad.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com