'Tidak Divaksinasi, Balita di Itali Tidak Bisa Masuk Sekolah'
BINTANGNEWS.com –
Para orang tua di Italia diwanti-wanti bahwa anak mereka tidak akan diizinkan
masuk sekolah jika belum mendapat vaksinasi.
Jika nekad mengirimkan anak yang belum
divaksinasi ke sekolah, orang tua akan didenda hingga €500 atau setara dengan
Rp8 juta.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Lorenzin—dinamai demikian karena yang mengusulkan UU itu adalah mantan menteri
kesehatan Italia, Beatrice Lorenzin—semua anak harus menerima sejumlah
imunisasi wajib sebelum datang ke sekolah. Imunisasi itu mencakup vaksin cacar
air, polio, campak, gondok, dan rubella.
Melalui UU itu pula, anak-anak balita
hingga usia enam tahun tidak akan diperbolehkan masuk PAUD dan taman
kanak-kanak tanpa ada bukti telah menerima vaksinasi.
Anak yang berusia enam hingga 16 tahun
tidak dapat dilarang masuk sekolah, namun orang tua mereka akan didenda jika si
anak tidak menerima imunisasi wajib.
Tenggat mendapat bukti vaksinasi
semula dijadwalkan jatuh pada 10 Maret, namun diperpanjang hingga Senin.
"Semuanya kini punya waktu untuk
mengejar ketertinggalan," kata Menkes Giulia Grillo kepada harian La
Repubblica.
Dia dilaporkan bertahan dari tekanan
politik Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini yang mendesak tenggat
diperpanjang.
Grillo menegaskan aturannya sederhana,
"Tidak divaksinasi, tidak boleh sekolah".
Media di Italia melaporkan aparat
daerah menangani situasi ini dalam beragam cara.
Di Bologna, pejabat setempat mengirim
surat skorsing kepada para orang tua dari 300 anak. Sebanyak 5.000 anak di
daerah itu tidak memperbarui bukti vaksinasi mereka.
Apakah aturan itu berdampak?
Aturan baru itu diberlakukan untuk
mendongkrak tingkat vaksinasi di Italia dari di bawah 80% ke target Organisasi
Kesehatan Dunia sebesar 95%.
Pada Senin (11/3)—hari terakhir bagi
orang tua untuk menyediakan bukti bahwa anak mereka telah menerima vaksinasi
wajib—pejabat kesehatan Italia mengklaim tingka imunisasi nasional mendekati
95% bagi anak yang lahir pada 2015, tergantung dari vaksin apa yang sedang
digencarkan.
Dilansir BBC Indonesia, target 95% itu adalah titik ketika
'kekebalan kelompok' muncul—yaitu ketika sebagian besar masyarakat kebal
terhadap penyakit tertentu, kelompok masyarakat yang bukan merupakan sasaran
imunisasi dari penyakit tersebut turut terlindungi.
Kelompok masyarakat yang turut
terlindungi ini mencakup bayi-bayi yang masih terlalu kecil untuk divaksinasi
atau mereka yang mengalami kondisi medis tertentu.
Jika 'kekebalan kelompok' ini belum
tercapai, anak yang belum divaksinasi akan terdampak.
Bulan lalu, seorang bocah delapan
tahun yang sedang menjalani pemulihan akibat leukaemia, tidak dapat masuk
sekolah di Kota Roma karena kekebalan tubuhnya lemah.
Anak tersebut telah berbulan-bulan
mendapat perawatan, namun dia berisiko terpapar virus karena sebagian besar
murid di sekolahnya belum divaksinasi, termasuk beberapa teman sekelasnya.
Mengapa orang tua tidak mengimunisasi
anak mereka?
Gerakan anti-vaksi telah berkembang
secara global selama beberapa tahun sehingga membangkitkan kewaspadaan WHO.
Sebuah makalah yang disusun Andrew
Wakefield dituding berada di balik ketakutan sebagian orang tua untuk
memvaksinasi anak mereka. Namun, rumor soal imunisasi terus berkembang sehingga
menimbulkan risiko akan ada banyak orang tidak kebal terhadap penyakit-penyakit
berbahaya.
Izin praktik Wakefield sendiri dicoret
oleh otorita kesehatan Inggris setelah secara sembrono mengklaim ada
keterkaitan antara vaksin MMR (campak, gondok, dan rubella), penyakit
pencernaan, dan autisme.
Dia membuat klaim tersebut berdasarkan
pengalaman 12 anak, namun tiada studi lain yang bisa membuktikan klaimnya.(bin)