KPU Ajukan Uji Materi Pasal Pasal UU Pemilu ke MK
BINTANGNEWS.com –
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana mengeluarkan surat edaran atau mengubah
peraturan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi atas sejumlah
pasal dalam UU Pemilu.
Arief menambahkan, putusan MK ini
secara khusus terkait dengan penambahan waktu penghitungan suara yang dianggap
akan berpengaruh terhadap pihak lain.
Sebelumnya, dalam amar putusannya, MK
menambah waktu penghitungan suara yang semula satu hari menjadi satu hari plus
12 jam.
"Tapi juga ada saksi partai,
kemudian petugas keamanan. Itu kan energinya terbatas. Jadi, tetap sama-sama,
kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin," kata Arief.
Apa tanggapan Bawaslu atas putusan MK?
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), Abhan juga mengakui bahwa putusan MK ikut berdampak terhadap
pengawas pemilu di lapangan.
"Petugas di bawah itu harus punya
energi ekstra. Dia harus siap kalau ada perpanjangan sampai 12 jam. Jadi harus
sampai selesai, hari berikutnya sampai jam 12 siang," katanya, Kamis
(28/03).
Abhan juga meminta Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk segera melakukan perekaman
KTP elektronik.
"Harus segera dikeluarkan surat
keterangan, supaya hak pilihnya tidak hilang," katanya kepada wartawan
Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia, Kamis (28/03).
Saat ini, Ditjen Dukcapil mencatat
sedikitnya 4,2 juta penduduk Indonesia belum melakukan perekaman KTP
Elektronik.
Setelah putusan MK, Ditjen Dukcapil
harus segera mengeluarkan surat keterangan. Surat keterangan ini menjadi
pengganti KTP elektronik sebagai syarat pencoblosan 17 April mendatang.
'Harus segera mendata dan melakukan
rekaman ulang'
Hal senada diungkapkan salah satu
pemohon, Titi Anggraeni. Menurutnya, KPU dan Ditjen Dukcapil segera mendata dan
melakukan perekaman pemilih yang belum punya KTP elektronik.
"Untuk memastikan pemilih yang
belum masuk DPT ini, untuk mendapatkan surat keterangan sebagai prasyarat
minimum untuk bisa menggunakan hak pilih," kata Titi kepada wartawan usai
pembacaan putusan MK, Kamis (28/03).
Sementara, juru bicara Kementerian
Dalam Negeri, Bahtiar mengatakan keterangan ini akan berbentuk dalam surat
keterangan (Suket) KTP.
Menurutnya, hal ini sebenarnya sudah
berlaku saat penyelenggaran pilkada serentak.
"Jadi ini mereka yang sudah
terekam, sudah punya NIK, tetapi KTP fisiknya belum ada," kata Bahtiar
saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (28/03).
Bahtiar menambahkan, saat ini pihaknya
menunggu keputusan dari KPU untuk melakukan perekaman dan memasukkan pemilih ke
dalam DPT.
Seperti
apa putusan MK atas uji materi UU Pemilu?
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian
gugatan dalam UU Pemilu. MK memutuskan KTP elektronik tidak menjadi
satu-satunya syarat untuk melakukan pemungutan suara. Alternatifnya diganti
dengan surat keterangan Dukcapil.
"Tidak ada identitas lainnya yang
setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat
dan proporsional," kata Palguna saat membacakan pertimbangan MK.
Selain itu, MK memutuskan pemilih
dalam kondisi sakit, terkena bencana, masuk penjara atau dinas luar kota untuk
masuk dalam DPT tambahan paling lambat 7 hari sebelum pemungutan suara
berlangsung.
Sebelumnya, dalam UU Pemilu, DPT
tambahan dibatasi sampai 30 hari sebelum pemungutan suara.
MK juga menambah waktu penghitungan
suara 1 hari plus 12 jam setelah pemungutan suara berlangsung. MK juga
menegaskan agar KPU bisa membuat TPS khusus di lokasi-lokasi yang
terkonsentrasi dengan pemilih, seperti di dalam penjara.
Keputusan itu diambil dalam pembacaan
putusan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis
(28/03) sekitar pukul 13.30 WIB di Gedung MK, Jakarta.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK I Gede
Palguna mengatakan hak pilih tidak bisa dibatasi oleh syarat tertentu, seperti
dilaporkan wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia.
Akan tetapi, menurut majelis hakim,
KTP elektronik merupakan identitas resmi penduduk yang wajib dibawa ke
mana-mana dan dapat dipertanggungjawabkan pemiliknya.
"Tidak ada identitas lainnya yang
setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat
dan proporsional," kata Palguna saat membacakan pertimbangan MK.
Namun, untuk menekan jumlah angka
golput karena tidak memilik KTP Elektronik, MK mengatakan Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil perlu mengeluarkan pengganti KTP elektronik sebagai syarat
pemilih untuk memungut suara.
"Untuk mempercepat prosesnya agar
dapat direalisasikan," tambah Aswant, hakim agung lainnya.
Apa
saja kewajiban KPU yang harus dilaksanakan?
Tidak semua pasal yang digugat
dikabulkan oleh MK, namun demikian sejumlah pasal lainnya yang digugat
diluluskan oleh MK.
Dalam amarnya, MK memutuskan
memutuskan batas waktu penentuan Daftar Pemilih Tetap tambahan (DPTb) dari
semula 30 hari menjadi 7 hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2019.
DPTb ini untuk pemilih dengan keadaan
tertentu seperti sakit, terkena musibah bencana alam, masuk penjara dan
menjalankan tugas pada saat pemungutan suara.
"Untuk menjamin ketersediaan
politik. waktu paling lambat 7 hari itu waktu yang rasional," kata Hakim
MK yang lain, Aswanto.
Dalam uji materi lainnya, MK juga
memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyediakan TPS khusus bagi
pemilih yang terkonsentrasi di suatu lokasi.
Selain itu, MK juga menambah waktu
penghitungan suara. Semula pemungutan suara itu harus selesai dalam 1 hari,
menjadi ditambah 12 jam dari hari pemungutan suara.
"Dalam hal penghitungan suara
dapat diperpanjang 12 jam sejak pemungutan suara," kata Ketua MK, Saldi
Isra dalam sidang yang sama.
Mengapa
UU Pemilu 'digugat'?
Sebelumnya, para advokat menguji
sejumlah pasal dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah
Konstitusi.
Para pemohon di antaranya Direktur
Eksekutif Perludem, Titi Anggraini lalu Pemerhati Pemilu, Hadar Nafis Gumay
bersama Indrayana Centre for Gobernment, Constitution, and Society (INTEGRITY).
Pasal-pasal yang diuji adalah tentang
syarat KTP Elektronik yang menyebabkan hilangnya hak memilih (Pasal 348 ayat
9), tentang pemilih pindah TPS yang dapat kehilangan hak pilih pemilu
legislatif (Pasal 348 ayat 4).
Pasal lainnya yang digugat adalah
tentang pendaftaran DPT tambahan paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara
(Pasal 210 ayat 1, dan tentang pembentukan TPS khusus berbasis pemilih DPT
tambahan. Terakhir tentang penghitungan suara yang harus selesai pada hari
pemungutan suara (Pasal 350 ayat 2).
Dilansir BBC Indonesia, Pasal-pasal yang digugat ke MK ini dinilai akan
menghambat, dan menghalangi jutaan warga negara dalam melaksanakan hak
pilihnya. Hal itu telah merugikan hak konstitusional warga negara.
Apa
saja yang dimasalahkan?
1. Pemilih di lapas kehilangan
suaranya, karena pembentukan TPS dilakukan berbasis dengan DPT.
Ketidaktersediaan TPS di lapas mengharuskan para narapidana pergi mencoblos di
TPS di sekitar luar lapas. Hal ini tidak mungkin dilakukan.
2. Warga negara yang sedang liburan di
luar daerah tak boleh melakukan pemungutan suara dari daerah liburannya. Sebab,
UU Pemilu membatasi jumlah DPT di tiap TPS dengan menetapkannya 30 hari sebelum
pemungutan suara.
3. Para perantau hanya bisa mencoblos
untuk pemilu presiden. Mereka tak bisa melakukan pemungutan suara untuk DPD,
DPR, DPRD baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
4. Penghitungan suara harus selesai di
hari pemungutan suara akan menjadi persoalan dalam keabsahan penghitungan
suara.
Kementerian Dalam Negeri mencatat 4,2
juta pemilih belum merekam KTP Elektronik.
Para pemohon menginginkan KTP
Elektronik tidak dijadikan satu-satunya alat untuk melakukan pemungutan suara
dengan memberikan opsi lain yaitu surat keterangan, akta kelahiran, kartu
keluarga, buku nikah, atau kartu yang diterbitkan KPU.
Namun, pemerintah melalui pernyataan sejumlah
pejabat terkait memperingatkan akan adanya 2,8 juta pemilih yang memiliki identitas
non KTP elektronik ganda.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com