IDI Usulkan Tes Kesehatan Soal Ratusan Petugas KPPS Meninggal
BINTANGNEWS.com – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan
melakukan penelitian khusus terkait meninggalnya ratusan petugas Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Sementara itu, Direktur Eksekutif
Perludem, Titi Anggraini, menyarankan agar diberlakukan kriteria yang lebih
ketat dalam perekrutan calon petugas KPPS di masa mendatang.
"Ke depan harus bisa mulai kita
pikirkan untuk memberi batas atas usia keterlibatan sebagai petugas KPPS di
tingkat TPS," kata Titi.
Menurut penuturan Painen yang menjadi
salah satu petugas KPPS di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ia hanya memberikan
ijazah pendidikan terakhirnya sebagai persyaratan menjadi petugas KPPS. Ia
mengikuti pengarahan KPU beberapa waktu sebelum hari pencoblosan.
"Langsung praktik, langsung.
Enggak tahu kalau sampai dua hari seperti itu loh, sampai enggak tidur, sampai
pagi. Untung alhamdulillah kuat," tutur Painen.
Ia tak diminta mengikuti pemeriksaan
kesehatan, baik fisik maupun psikologis, sebelum menjalani peran sebagai
petugas KPPS yang menuntut banyak waktu dan energi.
"Kalau saya kemarin sepertinya
enggak ada (pemeriksaan kesehatan)," imbuh Painen.
Ia terkejut karena harus begadang
semalam suntuk demi menyelesaikan penghitungan suara di TPS-nya. Itu adalah
kali pertamanya menjadi petugas KPPS.
"(Saya kira) telat-telatnya
paling sampai malam jam tujuh. Nah ini sampai harus menyelesaikan itu
kan," ujar Painen.
IDI usulkan pemeriksaan kesehatan
Selain akan melakukan penelitian
khusus, dalam diskusi yang berlangsung dua jam itu, ketua Dewan Pertimbangan
IDI, Zubairi Djoerban, mengajukan usul agar para calon petugas KPPS mendatang
menjalani pemeriksaan kesehatan, baik fisik maupun psikologis.
Pemeriksaan kesehatan tersebut dapat
memberi informasi dan data tentang riwayat kesehatan petugas sekaligus memberi
gambaran apakah yang bersangkutan memiliki tendensi untuk bunuh diri seandainya
stres karena mengalami overwork alias kelebihan beban kerja.
"Pemeriksaan itu adalah paket
pemeriksaan kesehatan (fisik) dengan paketpemeriksaan psikiatri dan tes namanya
MMPI," ujar Zubairi.
Ia mengaku bahwa hal itu juga ia
lakukan ketika memeriksa kesehatan para calon presiden dalam kontestasi pilpres
2009 dan 2014, ketika ia menjadi pemimpin tim pemeriksa kesehatan capres.
"Jadi itu mungkin sekali bisa
dipakai, mungkin dalam cara yang lebih sederhana."
Data riwayat kesehatan, dalam hal ini,
menjadi penting karena dapat menjadi acuan bagi tenaga medis dalam menangani
pasien petugas KPPS yang mengalami sakit.
Untuk kasus ratusan kematian petugas
KPPS, seandainya data tersebut tersedia, maka hal itu dapat memperjelas
penyebab kematian para korban dan membantu untuk mencegah jatuhnya lebih banyak
lagi korban.
Pasalnya, ketiadaan data tersebut
menciptakan informasi yang simpang siur yang berpotensi dimanfaatkan oleh
oknum-oknum tertentu.
"Data menjadi perlu - data lebih
rinci - untuk mengobati lebih dari 4.602 yang sakit supaya lebih tepat
(penanganannya) dan untuk menepis hoaks yang berseliweran," imbuh Zubairi.
"Kelelahan itu salah satu faktor
risiko saja yang men-trigger atau memperberat terjadi suatu penyakit. Penyakit
itu yang timbulkan kematian," ungkap Daeng.
Hingga 12 Mei lalu, Kementerian
Kesehatan mencatat 455 kasus kematian petugas KPPS yang berasal dari 17
provinsi yang datanya telah masuk. Provinsi Jawa Barat adalah daerah dengan
kasus kematian terbanyak, yaitu 177 kasus.
Dari seluruh korban, sebagian besar
meninggal dunia beberapa hari setelah hari pencoblosan, dengan rentang usia
paling banyak antara 50-59 tahun (29%).
Stroke dan gagal jantung menjadi
penyebab kematian paling banyak dari ke-455 kasus yang ada.
Saran bentuk TGPF
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang juga komisioner Komisi Yudisial, Aidul
Fitriciada Azhari, mengatakan bahwa kasus kematian ratusan petugas KPPS
sebelumnya tidak diprediksi menjadi masalah pemilu.
"Dari proses ini (pemilu), tidak
ada satu pun yang akan menyentuh persoalan kematian, itu masalahnya," ujar
Aidul yang juga menjadi pembicara dalam diskusi di kantor PB IDI, Senin
(13/05).
Kasus kematian petugas KPPS sendiri
bukan pertama kali terjadi. Pada pemilu tahun 2014, diketahui 144 petugas KPPS
meninggal dunia.
"Saya mendengar sendiri dari KPU
bahwa sebenarnya mereka menyadari akan pekerjaan yang overtime, mereka
sadar," ujarnya yang dikutif BBC
Indonesia.
Menurutnya, upaya antisipasi oleh KPU
dilakukan dengan mengeluarkan peraturan yang mengurangi batas jumlah pemilih di
tiap TPS, yang tadinya 500 orang menjadi 300 saja.
Akan tetapi, hal itu menjadi tidak
efektif menurutnya, ketika Mahkamah Konstitusi justru mengabulkan perpanjangan
waktu penghitungan suara di TPS.
"Memperpanjang waktu sampai jam
12 hari berikutnya dan tidak boleh jeda. Nah, itu juga berpengaruh," ujar
Aidul.
Untuk itu, Aidul menyarankan negara
sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menjamin hak hidup warga negaranya,
dalam hal ini petugas KPPS, untuk segera mengambil tindakan.
Ia menunjuk presiden sebagai pemimpin
negara untuk melakukan tindakan drastis dengan membentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) yang bertugas mengusut kasus tersebut.
"Beberapa kalangan, beberapa
perguruan tinggi, kemudian asosiasi itu membentuk tim, seharusnya kan presiden
melakukan hal yang kurang lebih sama.
"Intinya sebenarnya adalah
bagaimana memberikan perhatian dan respons yang memadai terhadap situasi yang
saya kira kalau dibiarkan terus itu akan menimbulkan ketidakpercayaan
publik," pungkas Aidul.
Ubah batas atas usia petugas KPPS
Peneliti sekaligus Direktur Eksekutif
Perludem, Titi Anggraini, berpendapat bahwa kegagapan berbagai pihak dalam
menghadapi pemilu serentak untuk pertama kalinya berkontribusi pada kasus
kematian ratusan petugas KPPS.
Kegagapan itu terdorong oleh terlalu
padatnya agenda demokrasi Indonesia selama lima tahun terakhir, dengan tiga
tahapan pilkada serentak yang diakhiri dengan pilpres dan pileg serentak.
"Seolah-olah terengah-engah
berkejar-kejaran dengan waktu dengan segala persiapan sambil juga seperti
tergagap dengan berbagai hal yang baru," ujar Titi.
Selain itu, terbatasnya ruang gerak
KPU dalam menentukan teknis pelaksanaan pemilu di lapangan membuat antisipasi
masalah overwork alias kelebihan beban kerja petugas KPPS tak terselesaikan.
Keterbatasan itu dianggap Titi bermula
dari terlalu detilnya Undang-undang Pemilu mengatur teknis pelaksanaan pemilu
di lapangan.
"Misalnya, waktu dimulainya
pemungutan suara, kapan harus selesainya penghitungan suara, itu kan sebenarnya
dikunci di undang-undang, makanya KPU sulit bergerak, kan.
"Ketika KPU ingin mengubah itu
kan ya harus pergi ke MK, termasuk juga soal jumlah personel KPPS," imbuh
Titi.
Titi lantas menyinggung soal kriteria
usia petugas KPPS yang diduga menyumbang penyebab kematian ratusan petugas.
Menurutnya, sebaiknya batas atas usia petugas KPPS mulai dirundingkan,
mengingat petugas KPPS yang meninggal dunia adalah mereka dengan usia lanjut.
"Karena memang beban kerja mereka
relatif dalam waktu singkat, tapi nonstop. Tidak seperti KPU yang kerjanya juga
berat, tapi kan masih ada jeda yang relatif memberi ruang mereka untuk
beristirahat.
"Mungkin (batas bawah) usia 17
(tahun) sudah baik, tapi kita juga perlu mempertimbangkan untuk memberi batas
atas usia, misal, apakah batas atas usianya 50 tahun," katanya.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Informasi Dunia di twitter@bintangnews.com