Bisakah Sengketa Pilpres di Indonesia Dibawa ke Mahkamah Internasional?
BINTANGNEWS.com – Sesudah
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan pasangan calon
presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait gugatan hasil Pilpres 2019,
salah satu wacana yang berkembang adalah membawa perkara ini ke Mahkamah
Internasional.
Sebagaimana dikutip dari berbagai
media, Hehamahua menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan sistem penghitungan
atau Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU) ke
Mahakamah Internastional.
Hehamahua menyatakan pelaporan ini
dilakukan karena Mahkamah Internasional bisa melakukan audit forensik terhadap
IT KPU untuk melihat bagaimana kecurangan-kecurangan Situng.
Mahkamah Internasional
BBC News Indonesia bertanya kepada
ahli hukum internasional di Chatham House, London, Agantaranansa Juanda,
mengenai kemungkinan sengketa pemilu dibawa ke Mahkamah Internasional.
Menurut Agantaranansa, yang biasa
dipanggil Agan, jika yang dimaksud Mahkamah Internasional atau International
Court of Justice atau ICJ, maka hal itu tak bisa dilakukan.
Ini disebabkan karena ICJ hanya punya
dua yuridiksi atau kewenangan hukum.
Pertama, untuk memutus sengketa
antarnegara, dengan kata lain pemohon harus bertindak atas pemerintah suata
negara, dan kedua nasihat hukum terhadap organisasi internasional atau
organ-organ PBB.
"Sifat sengketa itu harus lintas
negara atau cross border, seperti misalnya sengketa Sipadan-Ligitan karena
terkait klaim teritori sah antara Indonesia dengan Malaysia. Sengketa pemilu
itu masalah internal satu negara, maka tidak bisa dibawa ke ICJ," kata
Agan yang dilansir BBC Indonesia.
Mahkamah yang bersidang di Den Haag,
Belanda ini beranggotakan 15 hakim yang menjabat selama sembilan tahun dan
dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.
ICJ hanya menerima perkara-perkara
yang bersifat lintas negara, dan itu pun pengajuan perkara ke Mahkamah ini pun
harus disepakati oleh kedua negara yang bersengketa.
Mahkamah Pidana Internasional
Pemilihan umum merupakan proses
internal suatu negara, dan tidak bersifat lintas negara.
"Internasionalisasinya mungkin
saja, seperti yang pernah terjadi dengan pemilu di Kenya, tapi itu konteksnya
kekerasan yang terjadi sesudah pemilu, maka kasusnya adalah kejahatan
internasional dan yurisdiksinya ada di ICC atau International Criminal
Court," kata Agan.
Sengketa pemilu di Indonesia juga
tidak bisa dibawa ke ICC atau Mahkamah Pidana Internasional, kata Agan,
terutama karena Indonesia bukan merupakan anggota ICC.
"Walaupun sebenarnya akan lebih
baik kalau Indonesia untuk menjadi anggota ICC untuk alasan kemanusian,"
kata Agan.
'Keliru pikir'
ICC sendiri merupakan lembaga
pengadilan internasional yang mengadili kejahatan kemanusiaan, atau yang
disebut di Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Menurut pakar hukum internasional
Hikmahanto Juwana, ada empat perkara yang bisa diajukan ke ICC yaitu kejahatan
kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan perang agresi.
"Sekalipun yang diadili di
ICC adalah individu, tetapi individu ini harus merupakan pelaku kejahatan
internasional," kata Hikmahanto.
Menurut kedua pakar hukum ini, ada
masalah "kekeliruan berpikir" bahwa mahkamah internasional merupakan
upaya hukum lanjutan dari proses hukum di MK atau pun di MA.
"Pemahaman masyarakat akan hukum
internasional masih minim sekali. Lalu ini menjadi bola salju karena orang-orang
yang dianggap publik sebagai tokoh atau panutan juga mengajak untuk salah
berpikir," kata Agan.***
.(bin)
Ikuti
Terus Sumber Infomasi Dunia Di Twitter @Bintangnews.Com